Perjalanan Dimulai - Bangka, April 2017
Setelah hampir satu tahun kami merencanakan
untuk mendaki gunung, akhirnya hari itu datang juga.
ini adalah pengalaman
pertama kami mendaki gunung.meski kami sering mendaki bukit di waktu senggang, namun
kami rasa mendaki gunung bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Sebab, kami belum berpengalaman dalam
hal yang berkaitan dengan pendakian gunung. Baik dari faktor cuaca, suhu dan hal lain yang mungkin saja terjadi di gunung.
Seminggu sebelum keberangkatan, kami sudah mempersipakan segala hal, mulai dari fisik/stamina, peralatan, mental dan tentu saja yang utama adalah niat yang disertai doa.
sebab tujuan mendaki gunung bukan untuk
menaklukkan gunung tersebut, namun bagaimana bisa pulang dengan selamat.
membawa banyak pengalaman dan cerita
 |
pelabuhan Tanjung kalian, Muntok |
Palembang, April 2017
 |
pelabuhan boom baru palembang |
 |
pelabuhan boom baru Palembang
|
Riuh bising pelabuhan begitu
terasa ketika sebuah kapal cepat yang kami tumpangi bersandar rapi di
dermaga. Bom Baru adalah tempat pemberhentian kami yang ke-2 setelah melakukan perjalanan
kurang lebih sekitar tujuh jam.Kami berangkat dari rumah di Pangkalpinang sekitar pukul tujuh pagi dan sampai di pelabuhan Muntok sekitar pukul sepuluh. Kami sempat menunggu satu jam di loket
pelabuhan sebelum kapal cepat itu membawa kami selama 4 jam membelah ombak dan
tiba disini. Sebenarnya kami bisa sampai dua jam lebih cepat, tapi entah karena kendala
apa, mungkin aktifitas penduduk sekitaran sungai Musi yang padat, jadi kapal
terpaksa melaju dengan kecepatan sedang.
Jam yang terpampang di loket
tiket pelabuhan menunjukan pukul 16.00 kami pun pergi menuju luar pelabuhan setelah sempat
melewati barisan ojek, travel dan angkot yang menawarkan jasa tumpangan yang saling bersahutan, agar menaiki transportasi milik meraka. kami
lebih memilih menunggu diluar. Karena di perjalan kapal menuju palembang saya
telah menelpon travel agency kota palembang yang kebetulan adalah teman uwak
saya yang berada di kota Pagaralam.
Tiba di Kota Tujuan - Pagralam, April 2017
Kami tiba di Pagaralam
dinihari setelah melakukan perjalanan darat hampir delapan jam dari pusat kota palembang. Di Boom Baru kami dipalak oleh orang sekitar pelabuhan. kronologi ini terjadi ketika mereka datang tiba-tiba membantu menaikan
barang bawaan kami kedalam mobil termasuk carrier. kami sempat kebingungan
dengan obrolan mereka dengan supir yang menjemput. Maklum kami yang tidak banyak
mengerti bahasa Palembang meskipun kami terpaut cakupan wilayah yang cukup dekat. Tapi
yang kami tau mereka bicara dengan kata yang berakhiran O. Misalnya 'apa' menjadi 'apo'. Tapi tidak semua kata harus berakhiran O, kalau semuanya, mungkin itu akan terdengar
aneh.
Kami pun diminta membayar hanya sekedar uang rokok. Akhirnya seorang kawan memberi dengan ikhlas tak ikhlas, toh dari pada kenapa-kenapa. Lagipula ini daerah mereka, apalagi karena kami minta di jemput oleh travel dari luar bukan dari jasa angkutan kota yang menetap di area dalam pelabuhan.
Mungkin ini juga sebuah pelajaran agar lebih berhati-hati di kota orang, sebab kita tidak pernah tau kemungkinan apa yang bakal terjadi.dari hal buruk ataupun hal baik.
Rumah Nenek, Pagaralam
Kami disambut dengan ramah oleh
nenek dan uwak di depan rumah panggung yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun itu. Tidak banyak yang berubah meski saya sudah hampir 4 tahun tidak pernah kesana. Kamipun berjabat tangan dan saya memperkenalkan 2
teman saya kepada nenek dan uwak. Febri dan Awi. Dua orang ini terpaut umur dua tahun
dibawah saya.dan mereka adalah tanggung jawab saya di di sini apalagi mereka
berdua belum pernah sekalipin bepergian keluar daerah. Ini kali pertama dan akan
jadi pengalaman pertama. Obrolan di dalam rumah panggung
itu terasa hangat meskipun udara yang menerpa tubuh kami sangat dingin. Bahkan saat memasuki wilayah pagaralam. Padahal mobil itu sangat pengap. Itulah Pagaralam, tempat yang ingin selalu aku singgahi dari kecil sampai sekarang. Alamnya
yang asri, udara yang dingin khas daerah pegunungan membuatku rindu akan
belaiannya.
Malam berlalu, mentari
telah menggantikan gelapnya dikala kami baru terjaga dari kelelahan
kemarin. Kopi adalah teman pagi kami hari ini. Pekat hitam dan pahitnya hadir
membawa kami di suasana pedesaan. Beranda rumah panggung itu sungguh tempat yang artistik. Penuh nilai dan kenangan.
kita pernah menjadi seorang perangkak sebelum benar-benar bisa berjalan.
kita pernah benar-benar disayang dalam pelukan dan kemanjaan, sebelum kita membawa tanggung jawab setelah melewati masa pendewasaan.
waktu memang sangat rapuh, ia tak bisa berkompromi, ia memaksa kita mengulang kembali kenangan, bukan mebawa kita kembali mengulang kejadiannya
Posko Tugu Rimau - Dempo, April 2017
 |
Tugu Rimau, 1800 MDPL
|
Dua hari yang lalu kami hanya
mengabiskan waktu disekitaran rumah nenek. Menunggu pagi berganti siang dengan
menikmati sawah berlatar gunung di belakang rumah. Kopi tak lupa menemani. Daerah yang dingin memang tak luput dari kehangatan kopi. Bahkan hampir setiap rumah mempunyai kebun kopi sendiri, tidak terkecuali nenek saya.
 |
Dua orang yang jarang melihat sawah Awi dan Febri |
 |
sawah berlatar gunung dempo
|
Pagi di hari pendakian kami tepat di bawah ciptaan kuasa tuhan itu, dempo. Setelah menempuh perjalanan satu jam dan menyewa ojek lokal, dengan biaya 60 ribu perorangan.Biasannya, mereka menaruh tarif seharga 80 ribu, tapi karena salah satu dari si tukang ojek itu kebetulan kenalan dekat dengan keluarga saya, jadi dia mengurangi tarif untuk kami bertiga.
Besar dan tinggi menjulang tatkala awan menutup puncak kemegahannya. Namun tempat itu begitu sepi. Tepat di area parkiran posko pendakian telah tepampang baliho pengumuman, " STATUS GUNUNG DEMPO SIAGA 2, PENDAKIAN DITUTUP UNTUK SEMENTARA WAKTU"
Kami telah mengetahui perihal
ditutupnya pendakian gunung dempo dari 2 bulan lalu yang harusnya kami sudah
pergi pada saat itu juga.namun setelah 2 bulan kemudian kami tak pernah
mendapat kabar lagi tentang ditutupnya gunung dempo, pikir hati mungkin
pendakian sudah dibuka. Berita lokalpun tak pernah memperbarui status tentang
gunung tersebut. Jadi pada akhirnya kami tetap putuskan untuk pergi.
Kami bertiga hanya menghembuskan
nafas panjang tanda kecewa dengan pengumuman tersebut. Kami yang dari jauh datang kesini
hanya utntuk melihat kuasa sang pencipta namun harus berakhir sampai di posko awal pendakian.
Setengah jam berlalu kemudian si penunggu posko tiba di lokasi. Kamipun bergegas untuk meminta izin mendaki mungkin saja
bisa diizinkan, namun aturan tetaplah aturan, tidak bisa dibantah apalagi berurusan dangan
alam.meski telah bicara panjang lebar atas perizinan kami untuk mendaki, uwak
penjaga posko itu tetap tidak mengizinkan, dan sangat kebetulan uwak itu masih termasuk
saudara saya di dusun daerah rumah nenek. mungkin itu adalah alasan dia tidak ingin terjadi suatu hal di
atas gunung. Kami bisa saja mendaki tanpa izin, namun resiko yang terjadi diatas
bukan lah urusan mereka, itu sepenuhnya menjadi resiko yang harus kami tanggung
sendiri.
Akhirnya kami
memutuskan untuk tidak dulu balik kerumah dan mendirikan tenda di sekitaran
posko pendakian di Tugu Rimau.bagaimana tidak, kami tidak akan rela pulang dengan
tanpa menikmati malam berbintang di ketinggian 1800 diatas permukaan laut
itu, apalagi pemandangan sekitar yang cukup memanjakan mata, perkebunan teh seluas
1.478 hektar yang sudah ada sejak zaman belanda dulu adalah ciri khas tersendiri di gunung dempo dan itulah yang mampu membuat sejuk hati kami yang sempat kecewa dengan
gagalnya mendaki hari ini.
Tenda dengan kapasitas 4 orang itu pun terpasang menghadap hamparan luas perkebunan teh, obrolan dari detik ke menit, menit ke jam begitu hangat meski kadang gerimis menyinggahi
sekitar. Abang yang menjaga parkir di sekitar pos datang bergabung menambah sedikit banyaknya
bahan cerita kami siang itu. Bang edi, begitulah kami memanggilnya, dia bercerita banyak hal tentang kota Pagaralam, gunung dempo, dan bahkan peristiwa kematian yang sudah terjadi di gunung itu. Dia adalah seorang yang hobi berpetualang di masa-masa ia belum menikah. Kami merasa punya teman baru, cerita baru hingga
mentari pergi membelakangi kami, tenggelam di balik gunung itu.
 |
sekitaran Tugu Rimau pagi hari |
 |
Tugu Rimau menjelang sore |
0 Comments